Sabtu, 19 Mei 2012

Bertandang Rumah Para Dewa


13368065931418280449Malang kota yang berhawa sejuk, kontur daerahnya dikelilingi gunung baik Gunung Arjuno, Panderman dan Semeru. Bila saya ingat Gunung Semeru, terlintas 2 tahun yang lalu. Kami berempat satu organisasi kepenulisan kampus. Sepakat untuk melakukan perjalanan, Fahmi teman saya yang melakukan hal tersebut mengajak naik Semeru secara sepontan, diajaklah Ivan, Ria dan Saya yang paling muda dan junior diantara ketiganya. Dibalik keberangkatan ke Semeru adalah acara ulang tahun salah satu teman saya yaitu Fahmi. Kalau dipikir kembali mungkin teman saya ini ingin mencoba seperti Gie-Soe Hok Gie yang merayakan bertambahannya usia dipuncak Mahameru.

Kami berangkat melalui jalur Tumpang- Poncokusumo Malang dengan mengandarai sepedah motor, melintasi Coba Pelangi- salah satu tempat wisata air terjun di Malang, lalu melewati desa Ngadas. Jalan yang dilalui sudah baik namun tanjakan demi tanjakan tak terelakan bagi kami, udara yang semakin dingin dengan hutan yang seolah-olah tak bersahabat. Menuju perkampungan Ranu Pane semakin terlihat puncak tertinggi para Dewa bersemanyan, tak sabar untuk mendaki. Masih ingat betul cerita Fahmi tentang mitologi Gunung Semeru itu tempat para Padhawa melakukan moksa (hilang), bila ditelusuri kita akan ada pos yang bernama arco podho (arca sama) memang benar di pos tersebut, berdiri dua buah patung yang sama, namun ketika kami berempat mencoba menulusuri pos tidak dapat diketemukan, entah dimana keberadaan kedua patung itu. Bukti peninggalan bahwa Gunung Semeru adalah Gunung yang disakralkan bagi masyarakat dahulu.
Ranu Kumbolo, sebuah danau bentukan alami dari Semeru. Disini para pendaki biasanya membuat camp untuk melakukan aklimatisasi untuk menuju Kalimati, memandangnya hingga membuat berpikir Ranu Kumbolo danau vulkanik yang terbentuk dari cekungan yang menurun hingga dari dalam bumi terisi oleh air, Jika Semeru sedang bergejolak apakah Ranu Kumbolo bisa dijadikan patokan untuk mengukur Semeru meletus atau tidak. Ah, saya sendiri buka orang ahli Gunung jadi hanya berpikir saja bila memandang Ranu Kumbolon, yang airnya begitu jernih. Teringat juga Ranu Kumbolon sama seperti danau anakan yang terdapat di Rinjani. Di pinggir ranu, terdapat prasasti yang berhuruf palawa, Fahmi sendiri mencoba melihat (maklum dia adalah anak Sejarah) dari ceritanya dulu ranu ini diberikan pada salah satu pendeta untuk keperluan ibadah (sembahyang), hingga pada sampai sekarang orang-orang masih melakukan ritual, bekas dupa berserakan di sekitar tempat prasasti. Kami berempat saling berpadangan melihat kondisi itu, entah apa yang kami pikirkan masing-masing.
Melihat Puncak yang mengeluarkan asap ke udara, itu tak sabar untuk segera mendaki tempat rumah Dewa, kawah jonggring saloka menanti untuk sebuah jerih payah. Kalimati yang terhampar Edelwish putih, celetukan bergulir untuk memetik bunga abadi itu. Teman saya yang suka naik gunung, ada Edelwish lain di puncak Lawu, warna ungu atau biru kalau tidak salah. Dan itu satu-satunya Edelwish berwarna, pada bulan Agustus para ranger sering bersiaga disini, untuk memantau para pendaki yang memetik bunga itu. Bila ingin melihat padang edelwish mendaki Gede- Lembah Mandalawangi. Ya, sebuah saksi bisu yang terus mekar, tumbuh terhampar disana.
Semeru memang memakan banyak korban, terdapat banyak nisan yang bertulisan sahabat, rekan tercinta yang hilang disana. Kami sendiri menwati-wati agar tidak berpisah dari rombongan untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Termasuk Gie sendiri sebuah nisan yang bagi sungguh berarti, membuat kami menapaki jejak masa lalu hidupnya, kami berdoa untuk mereka yang abadi dan tidur bersama Semeru diantara Edelwish, angin gunung yang berhembus membelai sela-sela cemara.
Entah kapan lagi kami berempat kembali lagi mencapai puncak, menelusuri mistik dan esotika rumah para dewa. Tak ada yang bisa menggantikan rumah dewa itu, tak ada kami tinggalkan kecuali jejak, tak ada yang kami ambil kecuali foto. Gunung yang menjadi tempat semayan para keabadian sejati. Mahameru, kamu panorama jawadipa.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar